Foto bersama setelah kegiatan SEMILOKA ETNOLINGUISTIK
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Di akhir abad ini, 50 hingga 90 persen bahasa di dunia akan punah, demikian halnya 168 bahasa daerah dari 151 subsuku Dayak di Kalbar.
Hal itu disampaikan John Bamba, mantan Direktur Eksekutif Institut Dayakologi saat menjadi pemateri dalam Semiloka Penelitian Etnolinguistik yang dilaksanakan Institut Dayakologi, di Jurung Dayakologi pada Jumat dan Sabtu (13-14/7/2018)
"Bahasa penting diselamatkan karena mengandung pandangan hidup, kekayaan budaya, pengetahuan dan pengalaman mengenai cara-cara bagaimana suatu kelompok masyarakat mengatasi persoalan yang dihadapinya," lanjut John yang kini menjabat ketua Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih.
Sekitar 50an peserta mahasiswa dan kaum muda dari berbagai daerah kabupaten hadir aktif dalam semiloka tersebut.
Peserta ada yang datang langsung dari komunitas, di antaranya Jelimpo, Manyalitn, Tae dan Segumon.
Semiloka tersebut sebagai satu diantara langkah menuju penyelamatan bahasa dana pertahanan kebudayaan Dayak.
"Selain meningkatkan kesadaran kebudayaan generasi muda, semiloka juga menyepakati pendokumentasian bahasa dan aspek-aspek kebudayaan subsuku masing-masing serta sebagai upaya penting menuju penyelamatan bahasa daerah dan pertahanan kebudayaan. Teman-teman mahasiswa bisa mulainya dari kampung masing-masing," tegas Krissusandi Gunui, Direktur Institut Dayakologi saat menutup semiloka.
Peneliti dan penulis senior ID, Benyamin Efraim, dalam paparannya mengenai teknik bagaimana melakukan dokumentasi mengajak peserta untuk tidak sekedar tahu dan sadar akan situasi terancam punahnya bahasa daerah, tapi lebih dari itu, harus segera bertindak melakukan langkah penyelamatannya dengan cara mendokumentasikannya, termasuk semua aspek-aspek kebudayaannya.
"Tak cukup hanya tahu, sadar, tapi juga mesti ada langkah untuk mendokumentasikannya," ujarnya.
Sementara itu, mantan peneliti etnolinguistik Institut Dayakologi, Chatarina Pancer dalam paparannya mengatakan bahwa keterampilan peneliti dalam membedakan bunyi kata sangat penting.
"Bunyi sebuah kata itu penting diketahui karena ia memiliki makna," tuturnya saat memberikan materi pentingnya kemampuan membedakan bunyi sebagai kompetensi dasar sebagai peneliti etnolinguistik.
Uli, mahasiswi asal Kapuas Hulu, dari subsuku Kantuk mengaku sangat tertarik menjadi peneliti kebudayaan Dayak dengan harapan agar ke depannya kebudayaan Dayak, khususnya Kantuk bisa semakin dikenal masyarakat luas.
Senada dengan Uli, Lanyo mahasiswa asal Pahauman mengatakan bahwa dirinya kini sadar bahwa secara kebahasaan, Dayak itu ternyata beragam.
"Saya juga seorang aktivis seni tari, senang dan berterima kasih telah diundang sebagai peserta aktif semiloka ini sehingga saya jadi tahu bahwa Dayak itu beragam secara kebahasaan. Ke depannya saya akan mendokumentasikan bahasa dan kebudayaan Dayak Kanayatn," katanya setengah berjanji.
Selaku lembaga pusat advokasi dan transformasi kebudayaan Dayak, ID sejak beberapa tahun ini siap menampung informasi, data-data baik kebahasaan maupun kebudayaan dari subsuku mana pun.
Dari semiloka tersebut, peserta juga sepakat membentuk forum diskusi ilmiah yang akan dilaksanakan berkala di Dayakologi.
PO DokPub ID/moderator Semiloka, R.Giring. Citizen Reporter
Artikel ini telah tayang di tribunpontianak.co.id dengan judul Urgensi Penyelamatan Bahasa dan Pertahanan Kebudayaan Dayak, http://pontianak.tribunnews.com/2018/07/15/urgensi-penyelamatan-bahasa-dan-pertahanan-kebudayaan-dayak?page=2.
Penulis: Bella
Editor: Jamadin