Di puncak Tiong Kandang, sujut sembah yang tulus dari hati Masyarakat Adat
Tae-Sanggau,
Salah satu rangkaian dari musyawarah adat besar Tiong Kandang dan ritual adat ganjor yang digelar pada Jumat-Senin (29/3 s.d 1/4) yang lalu adalah ritual adat beniat atau “ziarah adat” di pedagi pengasih yang terletak tepat di tengah puncak Gunung Tiong Kandang.
Pagi itu, Minggu (31/3), sekitar pukul 08:30 Wib, ritual adat digelar di depan Balai Desa Tae untuk menandai keberangkatan sekitar 400-an pengunjung yang mendaki gunung Tiong Kandang. Tukang pomang yang memimpin ritual adat tersebut memohon izin kepada jebata penampa pejaji dan memberitahukan kepada roh para leluhur bahwa pada hari itu banyak orang dari berbagai daerah yang ikut ritual adat di Pedagi Guna dan mendaki puncak Tiong Kandang untuk beniat di Pedagi Pengasih. Penulis beruntung berkesempatan ikut bersama pengunjung lainnya, mulai dari orang tua, anak-anak pelajar hingga mahasiswa yang datang langsung dari Pontianak, termasuk 20-an utusan dari komunitas Tampun Juah, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau. Kami berjalan kaki. Perlahan-lahan menempuh jalur dari Kampung Bangkan, Desa Tae. Melalui jalan setapak yang licin dan ketinggian yang berbatu-batu
Kurang lebih 3 jam pertama, pendakian sampai pada punggung Tiong Kandang, tepatnya di Pedagi Guna. Di sini, kami pun beristirahat. Sebagian peserta yang membawa bekal dari rumah tampak makan bersama di lokasi ini. Tukang pomang, yaitu Pak Minggu dan asistennya, Yopos dengan sigap menyiapkan seluruh bahan ritual di antaranya seekor babi di atas 30 kg, ayam kampung, beras, kapur-sirih-pinang, tungkat pulut, rokok, dan tuak. Dia memimpin ritual adat beniat tersebutdengan mantra-mantra dalam bahasa Tae. Beberapa saat kemudian, pemberitahuan pun disampaikan. “Bagi pengunjung yang punya niat khusus dalam pendakian ke puncak Tiong Kandang, dipersilahkan merapat ke ritual ini untuk disampaikan kepada tukang pomangnya sekalian,” ujar Yopos. Ritual berlangsung hampir 1 jam lamanya hingga seluruh pengunjung tanpa terkecuali mendapatkan “taburan” beras kuning yang menandakan bahwa setiap orang yang mendaki telah menyatu dengan lingkungan alam (fisik maupun non fisik) Tiong Kandang.
Sakral, Sarat Larangan
Selanjutnya, pendakian ke puncak dengan tujuan “ziarah adat” itu pun dilanjutkan dengan keharusan memenuhi berbagai larangan. Beberapa larangan tersebut adalah dilarang membawa minuman keras, jeruk, makanan yang berbau amis, dan larangan keras bagi pengunjung perempuan yang sedang haid. Hal itu dipercayai bisa mengotori lingkungan alam Tiong Kandang. Sebab jika dilanggar, maka sulit bagi tukang pomang dan para juru kunci Tiong Kandang mempertanggungjawabkan dampak-dampak kesakralannnya.
Beberapa saat sebelum tiba di puncak, semua pendaki yang ingin menandaskan niatnya diwajibkan secara adat untuk memberikan kontribusi secara suka rela yang merupakan wujud pengkeras atau ungkapan terima kasih kepada lingkungan alam Tiong Kandang berupa uang, baik uang logam maupun uang kertas. Pengkeras diletakkan di tempat yang terbuat dari anyaman bilah bambu yang terletak sekitar 200 ratus meter ke arah puncak. “Ini merupakan kewajiban adat, walaupun bukan suatu keharusan sehingga dengan mengikuti seluruh rangkaian ritual adat ini kita semua (red-seluruh pendaki) sudah menyatu dengan lingkungan alam Tiong Kandang,”jelas Pak Minggu.
Menandaskan niat
Pendakiankepuncak Tiong Kandangmelewatitantangan yang semakinberat. Jalan yang curam, berbatu-batu dan licinkarenalembabturutmengurangijumlah “peziarah” yang beranimeneruskanpendakiankepuncak. Kuranglebih 1 jam lamanya, kami pun tibakepuncak—di lokasipedagipengasih—yang ketinggianyamencapai 980 MdPltersebut.
Di pedagi pengasih itulah niat-niat tulus kami ditandaskan dalam rasa khidmat dan suasana sakral diiringi mantra-mantra ritual beniat dari sang tukang pomang. Kami menyatakan niat bersama, yaitu: 1) memperjelas bentuk perlindungan Bukit Tiong Kandang dengan penataan ruang dan pengelolaan kawasan Bukit Tiong Kandang agar menjadi lokasi pusat ritual seluruh Masyarakat Adat Komunitas Tiong Kandang pada khususnya dan Masyarakat Adat di Indonesia umumnya; 2) memperkuat persatuan Masyarakat Adat Komunitas Tiong Kandang, khususnya di lingkar Tiong Kandang dalam mengelola, memelihara dan melindungi kesinambungan Tiong Kandang; 3) syukuran atas pengakuan legal formal atas wilayah dan hutan adat Tiong Kandang di Ketemenggungan Tae yang disahkan Negara melalui Presiden Republik Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Bupati Sanggau; 4) berniat untuk perdamaian manusia di muka bumi, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta pengakuan wilayah dan hutan adat di seluruh lingkar Tiong Kandang; 5) berniat dan mendukung sepenuhnya Pemerintahan Jokowi-JK dan keberlanjutan Pemerintahan di masa mendatang.
Pulang dengan optimisme semakin teguh
Usai ritual di pedagi pengasih, kami berfoto bersama, ada yang berfoto sendiri-sendiri. Menuruni puncak, lelah tiada terasa karena semangat kami dikuatkan walaupun hujan deras menjadikan jalan semakin licin. Sekali-kali, bahkan berkali-kali tergelincir pun tidak menjadi soal. Hal itu justru dirasa seperti memperlancar jalan pulang kami berlima.Dalamkeadaan basah kuyup dan mulai gelap, ternyata kami merupakan rombongan paling terakhir tiba di Tae tempat kami menginapbeberapahariini. Rupanya matahari sudah kembali ke peraduannya. Waktu pun sudah menunjukkan pukul 18:46 Wib. Letih memang mulai terasa, tapi semangat dan optimisme kami bersama masyarakat adat di lingkar Tiong Kandang semakin teguh. [mgr].